Mengoreksi Tafsir Liberal dan Feminis tentang Wanita
|
|
0 comments
Ats Tsaqofah - Wanita, selalu menjadi tema sentral dalam pemikiran modernisasi dan isu-isu globalisasi. Kebebasan wanita dan elemen-elemen yang terkait hampir selalu mencuat menjadi tema-tema utama wacana liberalisasi, persamaan (equality) dan modernisasi. Dalam perspektif liberal, kebebasan wanita adalah salah satu ikonnya. Saat ini, setidaknya ada dua isu hangat yang sedang mengalir; kasus video porno yang diperankan artis dan pilkada yang diramaikan calon-calon artis wanita.
Untuk pilkada, yang menjadi bahan perdebatan, artis-artis yang mancalonkan diri ada yang memiliki cacat moral –alias terkenal sebagai artis yang selalu tampil seksi dan porno di media. Dukungan bersumber dari aktivis feminis yang di antara tokohnya terkenal sebagai ilmuwan muslimah-berjilbab, dosen sebuah perguruan tinggi Islam terkenal yang pernah melontarkan pernyataan kontroversial tentang lesbian dan penafsiran agama.
Penafsiran liberal juga diaplikasikan kepada wacana pornografi, yang menjadikan wanita sebagai objek eksploitasi. Pornografi dianggap seni, yang perlu diapresiasi. Inilah nalar postmo, tidak mengenal ukuran normatif. Tidak dikenal benar-salah. Klaim kebenaran, dianggap menghambat orang lain dan menyuburkan otoriteriarisme. Ketika, korban-korban video porno yang menimpa anak-anak dan remaja semakin banyak, aktivis feminis dan liberal ‘tiarap’ tak dengar ‘nyanyian’ argumentatifnya. Itulah paradoks yang menimpa pemikiran postmodernisme – yang sejak awal kelahirannya selalu menjadi wacana kontroversial, terutama tentang diskursus perempuan.
Penindasan Dibalik Kampanye Feminisme
Diskursus perempuan dan aspek-aspek lainnya yang dikaitkan dengannya memang menjadi arena wacana yang selalu menarik. Lebih khusus dalam akal manusia Barat – di mana feminisme lahir darinya. Bagi Barat, sedari zaman kuno hingga abad modern, perempuan dan kecantikan serta seksualitas adalah wacana yang tidak bisa dipilah. Dalam patung-patung Yunani kuno misalnya, banyak ditampilkan model wanita telanjang. Tampaknya, Yunani kuno memuja-muja kemolekan perempuan, hal itu bisa dilihat dari arena Olympus Yunani kuno. Kebiasaan inilah barangkali yang diwariskan kepada budaya Barat saat ini.
Ironinya, di satu sisi keindahan fisik dipuja, di sisi lain hak dan jiwa wanita Barat saat itu dipenjara. Sejarah kelam institusi Inkuisisi Gereja pada era darkages menampilkan kerendahan perempuan dalam otoritas Gereja Eropa. Mayoritas korban penyiksaan keji lembaga Inkuisisi adalah perempuan. Hak dan kehormatan wanita dieksploitasi, bahkan oleh orang Barat kuno, wanita dianggap sebagai jelmaan setan. Naudzubillah.
Berangkat dari kutup ekstrim kembali pada kutub ekstrim yang lain. Inilah barangkali yang dialami diskursus perempuan Barat. Setelah mengalami eksploitasi hebat pada darkages, gerakan feminisme pada era pencerahan Eropa justru mebebeaskan perempuan sebebas-bebasnya, tanpa batas, mengenyahkan ukuran normatif agama.
Kelahiran feminisme, seiring dengan modernisasi agama di barat. Pada era selanjutnya, postmodernisme –memeriahkan intelektualitas Barat yang tidak hanya merambah dunia seni, arsitektur, dan sastra akan tetapi pada akhirnya ‘menyodok’ pula pada ruang agama. Inti kandungan filsafat postmodernisme ini adalah anti otoritas keagamaan, relativisme, pluralisme dan kesetaraan dalam semua aspek.
Term postmodernisme beserta ruang lingkupnya berpengaruh secara massif terhadap analisis kefilsafatan dan keberagamaan. Religiuitas Barat modern disesaki dengan pendekatan postomodern – yang doktrin utamanya adalah – nihilisme, anti-otoritas, pluralisme dan equality (kestaraan) tanpa memandang agama dan jenis kelamin.
Di sinilah, wacana tentang wanita mengalami perjalanan pada kutup ekstrim yang kedua. Dan dari sinilah wacana equality dan kebebasan perempuan justru menemukan titik eksploitas yang memuncak. Hal ini semakin menggugah pertanyaan, adakah kemajuan dan kemuliaan dari Liberalisasi Perempuan?
Barat yang memelopori pembukaan kran liberalisasi perempuan, dan Barat pula yang melanggar hak-hak keperempuanan. Berdasarkan laporan PBB tahun 2006, kasus kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi gender di lingkungan kerja Prancis sangat mengkhawatirkan. Menurut laporan tersebut, dua pertiga pekerja rendahan yang semuanya perempuan dalam kondisi mengkhawatirkan.
Di Inggris, kasus hamil di luar nikah, aborsi dan eksploitasi tubuh wanita oleh media juga menjadi menghiasi laporan PBB tahun 2008. Kondisi di AS lebih tragis, menurut laporan FBI AS, pada tahun 2003 sebanyak 93 korban perkosaan dan pelecehan seksual di AS tidak ditanggapi serius oleh pengadilan.
Liberalisasi dan slogan equaliy ternyata gagal mengangkat derajat mulia kaum perempuan. Liberalisasi dan feminisme, satu sisi membongkar kemapanan beragama kaum perempuan. Bahkan istilah feminis mengandung makna tidak beragama. Feminis berasal dari kata “Fe-minus” yang artinya tidak beriman. Di balik itu pula slogan equaliy seperti bunuh diri, yakni, perempuan dieksploitasi.
Di Indonesia, wacana tersebut ternyata diminati bahkan semakin percaya diri. Perempuan dan seks sengaja menjadi isu sentral dalam membentuk opini Liberal – yang antiotoritas normatif agama. Islam dalam konteks ini sengaja dikreasi menjadi agama Postmo – yakni doktrin-doktrinnya dibongkar diganti dengan norma-norma humanis-sekuler. Kelihatannya indah, tetapi mematikan. Rasanya nikmat, namun beracun.
Sebuah buku yang ditulis SQ, seorang kandidat doktor sebuah kampus di AS, mengatakan “Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas”. Menurutnya, praktik seks bebas tidak secara jelas diatur dalam diktum keagamaan. Bahkan yang lebih ekstrim dia berkomentar “Agama yang masih mengatur seks, beserta hukumnya, adalah agama kuno”. Astaghfirullah…
Bagi kaum Liberal, inilah era posmo. Sebuah zaman yang tidak memerlukan aturan agama untuk menjadi manusia baik, sebab, seperti dikumandangkan oleh Nietzsche, Tuhan telah terbunuh. Otoritas tidak lagi normatif keagamaan, akan tetapi nilai-nilai rasio manusia. Dalam hal ini diskursus perempuan menjadi arena menarik untuk menjejali manusia modern agar menjadi manusia yang posmo.
Dalam konteks ini, wanita-wanita telah dimanfaatkan oleh pejuang-pejuang Feminisme untuk menipu para wanita, agar mereka beranggapan bahwa perjuangan Feminisme memiliki di negerinya sendiri, Sehingga, muncul persepsi bahwa kebangkitan wanita perlu dilakukan dan ditingkatkan, Namun sayang, perjuangan wanita kebanyakan telah menyimpang mereka berusaha menyaingi laki-laki dalam berbagai hal, yang kadangkala sampai di luar batas kodrat mereka sebagai wanita.
Tanpa mereka sadari, wanita-wanita telah diarahkan kepada perjuangan Feminisme dengan membawa ide-ide Kapitalisme–Sosialisme, yang pada akhirnya menjerumuskan wanita-wanita itu sendiri, bahkan membawa kehancuran bagi masyarakat dan negaranya. Hal ini disebabkan, mereka meninggalkan tugas utama sebagai ummun wa robbatul bait (ibu dan pengatur Rumah tangga) dan posisi mereka sebagai muslimah yang harus terikat dengan hukum-hukum syara’. Mereka telah terbelenggu kepada perjuangan yang bersifat individual dan semata-mata mendapatkan keuntungan.
Disinilah menjadi suatu keharusan, untuk meluruskan peran wanita (khususnya muslimah) dalam usaha untuk mengembalikan kehidupan yang hakiki yang didasarkan kepada Islam sebagai diin yang syamil dan kamil. Perjuangan muslimah untuk kebangkitan umat yang hakiki tidak bisa dilepaskan dari perjuangan dengan laki-laki, karena untuk mewujudkan masyarakat Islam, di mana di dalam masyarakat itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, mengharuskannya berjuang bersama-sama tidak terpisah-pisah dan bersaing satu sama lain.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor-Ponorogo
Oleh: Kholili Hasib
Sumber : voa-islam.com
Filed Under:
Muslimah
Anda dapat turut serta menampilkan artikel anda dalam blog ini dengan mengirimkan email ke :
ats.tsaqofah@gmail.com
ats-tsaqofah@telkom.net
Sertakan pula identitas yang jelas. Terimakasih telah mengunjungi ats-tsaqofah.blogspot.com
0 comments
Trackback URL | Comments RSS Feed