“JIHAD VS TERORISME”
|
|
0 comments
Oleh : Muh. Kurniawan BW,S.Ag.SH.MH.
(Ketua ISAC dan Ketua Bidang Advokasi MMI LPD Kota Surakarta)A. Pendahuluan
Wacana radikalisme dan terorisme yang dikembangkan pemerintah dalam perspektif akademis sangat imaginatif bahkan absurd, karena makna istilah tersebut bisa mengalami perubahan atau sengaja dikembangkan.
Istilah Teror dan Terorisme mulai populer abad ke-18, meski sesungguhnya fenomena aksi terror dan terorisme bukanlah hal baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Bahkan suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror. Terorisme yang berasal dari Bahasa Perancis le terreur semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis selama empat tahun dua bulan yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata Terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata Terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah. (sejarah terorisme, Wikipedia).
Sementara di Indonesia terorisme dan radikalisme di lingkungan media massa, pemerintah, para pejabat keamanan, tokoh agama dan ulama selalu dikaitkan dengan bombing yang terjadi sejak tahun 2002; Bahwa, terorisme yang dilakukan oleh sekelompok orang tersebut (termasuk Dr. Azhari dan kawan-kawannya) adalah buah dari pemahaman radikalisme Islam. Istilah ini juga merasuki lembaga-lembaga akademis yang seharusnya membangun pola pikir ilmiah dengan logika akademis bukan paranoida berpikir dengan logika politik kekuasaan. Sebagaimana seminar yang mengusung tema besar “Pencegahan Terorisme dan Radikalisme Berbasis Agama” ini, agaknya berusaha membangun sebuah logika politik sebagaimana pernah digagas oleh Depag RI, MUI dan Wapres. Jusuf Kalla tahun 2005, bahwa untuk mencegah terorisme, maka ajaran radikalisme Islam harus dilarang karena menjadi sumber tindakan teroris.
Padahal radikalisme notabene muncul dari istilah Kristen sebagaimana Catholic Radical Alliance (Aliansi Radikal Katolik) yang didirikan di kota Pittsburgh, Pennsylvania, pada tahun 1937 oleh imam-imam Katolik Charles Owen Rice, Carl Hensler, dan George Barry O'Toole.
B. Stigmatisasi Islam Radikal
Radikalisme tidak pernah dikenal dalam khasanah Islam. Namun pasca peristiwa 11 September 2001 sampai sekarang dengan berkedok the war against terrorism yang dicanangkan George W. Bush, radilakalisme kemudian dilekatkan dengan ajaran Islam. Sehingga terjadi keterpecahbelahan umat Islam melalui kategorisasi Islam moderat versus Islam radikal yang identik dengan fundamentalis atau teroris. Bahkan Samuel P. Huntington, dalam bukunya, Who Are We? (2004) menjadikan Islam sebagai ganti posisi Negara Uni Soviet dalam perang dingin melawan AS. Dalam sub judul “Militant Islam vs. America”, dia menyatakan bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS.
(This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War. Muslim hostility encourages Americans to define their identity in religious and cultural terms, just as the Cold War promoted political and creedal definitions of that identity).
Pada dasarnya radikalisme tidak mempunyai agama. Juga, bukan merupakan intitas ajaran dan identitas suatu ideologi. Ia bisa berada di berbagai ruang. Kita bisa menemukan radikalisme pada tubuh militer, pada komunitas keagamaan, atau ideologi dan paham tertentu. Maka sangatlah ironis, ketika Kadensus 88 Polda DIY membeberkan sebuah doktrin terorisme yang disusun oleh Mabes Polri dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII di Jogjakarta (3 September 2009, di Hotel Santika Premiere Jogjakarta). Dalam makalahnya Polri membuat dua kategorisasi terorisme di Indonesia, pertama Separatis Terrorism (Fretilin, Negara Maluku, OPM, GAM) dan kedua, Religious Terrorism (Kartosuwiryo, Daud Beureuh, Kahar Muzakkar, Ibnu Hajar dengan NIInya). Siapa yang dimaksud Religious Terrorism itu, sudah bisa ditebak maksud dari pemaparan itu adalah Islam Terrorism!. Meski makalah itu tidak boleh dikopi namun terekam baik secara audio visual oleh Majelis Mujahidin yang waktu itu ikut menjadi pembicara.
Dikalangan akademisi, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tahun 2004 menerbitkan hasil penelitian dalam bentuk sebuah buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” (Penyunting: Jamhari dan Jajang Jahroni). Ada empat kelompok yang mendapat cap “salafi radikal” dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbuttahrir. Dalam pengantar buku ini ditulis: “Meskipun dalam beberapa tahun terakhir Indonesia dilanda fenomena gerakan salafi radikal, tetapi ternyata, survei membuktikan, bahwa mayoritas Muslim masih setia dengan ideologi Islam yang moderat dan toleran.” Dari kalimat tersebut bisa diambil mafhum mukhalafah, bahwa FPI, Laskar Jihad, MMI, dan Hizbuttahrir tidak moderat dan tidak toleran. Jadi, sesuai hasil penelitian UIN Jakarta itu, FPI, Laskar Jihad (sudah membubarkan diri), MMI, Hizbuttahrir,bisa jadi tinggal tunggu waktu untuk diberangus.
Yang menarik adalah kriteria ‘Islam radikal’ yang disebutkan dalam buku ini: (1) Kelompok yang mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung; (2) Dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka, (3) Secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas. (4) Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan. Melengkapi stigmatisasi ini, buku tersebut mengutip pendapat John L. Esposito bahwa ciri ideology ‘Islam radikal’ (dari bukunya, Islam: The Straight Path). Pertama, mereka berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat. Kedua, mereka seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekular dan cenderung materislistis harus ditolak. Ketiga, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk ‘kembali kepada Islam’ sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial. Keempat, karena idelogi masyarakat Barat harus ditolak, maka secara otomatis peraturan-peraturan sosial yang lahir dari tradisi Barat, juga harus ditolak. Kelima, mereka tidak menolak modernisasi sejauh tidak bertentangan dengan standar ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan, dan tidak merusak sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final. Dan keenam, mereka berkeyakinan, bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil tanpa menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat.
Kesimpulanya siapa pun juga, yang merasa punya kriteria idelogi semacam itu, bersiaplah dicap sebagai ‘Islam radikal’, ‘Islam fundamentalis’, ‘Islam militan’, ‘Islam revivalis’, ‘Islam literalis’, dan sebagainya. Dengan kriteria semacam itu, PKS, MUI, DDII, PBB, Hidayatullah dan sederet organisasi Islam lainnya dengan mudah bisa dimasukkan kategori ‘Islam radikal’, karena bersikap kritis terhadap pandangan hidup Barat dan meyakini pandangan hidup dan sistem Islam sebagai solusi kehidupan umat manusia.
Stigmatisasi Islam radikal yang dituduhkan di atas ternyata mendapat penguatan dari aparat intelijen, termasuk tokoh-tokoh Islam ambivalen yang memperkeruh situasi. Pernyataan mantan kepala BIN Hendrapriyono dan mantan Kadensus Suryadarma Salim, staf ahli Kapolri Anton Tabah yang menuding kelompok Islam garis keras yang disebut sebagai Darul Islam, Ikhwanul Muslimin dan Wahabi sebagai biang kerok ideologi terorisme di Indonesia. Bahkan menuduh ayat Al-Qur’an (surat al-Maidah 54, 55 dan 57) sebagai sumber terorisme merupakan penistaan terhadap agama dan fitnah besar terhadap umat Islam. Munculnya para jawara intelijen yang menuding pemahaman keagamaan sebagai ideologi terorisme, alih-alih menyelesaikan masalah terorisme. Sebaliknya, patut dicurigai mereka sedang menjalankan agenda global sebagai kaki tangan imprialisme asing.
C. Jihad sebagai Sistim Pertahanan, Keamanan, Penangkalan dan Pemberdayaan Umat
Memahami Syari‘at Jihad yang ditetapkan di dalam Islam. Kita perlu kembali kepada ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadits) yang berkaitan dengan karakter manusia, sistem pembinaan, sistem penangkalan dan pemberdayaan potensi kebaikan untuk melenyapkan potensi kejahatan.
Ada lima aksioma Ilahiyah yang melekat dalam kehidupan manusia secara pribadi maupun kolektif kolegial yang perlu dipahami :
1. Konflik dan Permusuhan sebagai sifat bawaan (masyarakat tidak monolitik);
Firman Allah QS. Al Baqarah (2): 36, Zukhruuf (43): 67, An Nisaa’ (4): 101 dan Ali Imraan (3): 103, menyatakan bahwa manusia memiliki potensi dasar berkonflik dan bermusuhan.
Hal ini membutuhkan solusi yang dapat dengan tepat mengekang tabiat agresif yang membawa kepada permusuhan dan konflik tersebut. Bagaimana solusinya dan sistem apa yang mujarab untuk mengatasi tabiat semacam ini, harus dirumuskan dengan jelas dan mudah diimplementasikan secara praktis dan universal.
2. Hukum kebutuhan perlindungan dari tindakan sewenang-wenang dan membahayakan eksistensi manusia, baik pribadi, kelompok maupun ummat. Firman Allah pada QS. Al Baqarah (2): 217 dan Al Anfaal (8): 65 yang mewajibkan ummat Islam memberikan perlindungan kepada golongan lemah dari kedzhaliman golongan yang kuat.
3. Hukum pemeliharaan atas kebebasan. Maksudnya hak untuk menikmati kebebasan yang sejalan dengan kehidupan manusia beradab harus dipelihara dan dikawal agar tidak dirusak oleh kekuatan-kekuatan jahat. Firman Allah QS. An Nisaa’ (4): 75, Al Baqarah (2): 193, al Mumtahanah (60): 9, dan al Hajj (22): 39. Ayat-ayat ini memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk menjamin kebebasan manusia dari segala bentuk tekanan yang membahayakan kebebasan memeluk agama.
4. Hukum penangkalan dan pelemahan terhadap kekuatan-kekuatan destruktif. Firman Allah QS At Taubah (9): 12 dan Al Anfaal (8): 60. Ayat ini memerintahkan kaum Muslimin untuk membangun kekuatan yang dapat mencegah kekuatan destruktif dari musuh-musuh Islam agar mengurungkan niatnya untuk mengganggu Islam.
5. Hukum menjaga keseimbangan. Firman Allah, QS Al Hujuraat (49): 9 dan Al Baqarah (2): 191. Ayat ini memerintahkan agar kaum Muslimin memiliki kekuatan yang tangguh supaya dapat berperan sebagai mediator, guna mendamaikan pihak-pihak yang saling bertarung supaya tunduk kepada kebenaran dan menjauhi tindakan saling mendzhalimi. Bertitik tolak dari lima prinsip tuntutan yang secara riil ada dalam kehidupan manusia di dunia ini, maka Islam merumuskan sistem yang jelas, normatif, dan bernilai universal berupa Syari‘at Jihad.
D. Latar Belakang Syari‘at Jihad
Sejak dunia mengenal bentuk kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sejak itu tidak ada suatu negara pun tanpa angkatan perang, persenjataan, latihan perang, dan undang-undang pertahanan dan keamanan. Dengan UU, setiap negara mengatur cara dan bentuk negara bersangkutan menjalankan pertahanan, melakukan penyerangan, dan meningkatkan upaya memelihara keamanan guna melindungi wilayah negara dan warga negaranya.
Terhadap UU semacam ini, tidak ada seorang pun yang berakal menyatakan kecamannya dan menganggapnya sebagai pelanggaran atas Hak-hak Asasi Manusia dan mengecamnya sebagai kekuatan yang mengancam keamanan dan keselamatan negara lain. UU semacam ini diterima sebagai hal yang rasional bahkan diterima sebagai salah satu piagam PBB yang membenarkan perang sebagai alat untuk mendamaikan pihak-pihak yang saling bertempur. Adanya UU semacam ini tidak dianggap sebagai tindakan teroris atau agresi. Sementara, Amerika dan Negara Barat hanya berbekal kecurigaan adanya negara lain yang membahayakan negerinya, lalu dengan segala semangat penuh nafsu menghancur-leburkan negara yang dianggap sebagai sarang teroris atau lawan yang berbahaya seperti membom Vietnam (1961 – 1970) dengan alasan sebagai sarang kekuatan Komunis Asia Tenggara, membom Afghanistan dan Iraq dengan tuduhan sebagai sarang teroris tanpa mengenal moral dan perikemanusiaan sedikit pun.
Islam yang menetapkan Syari‘at Jihad –yang dicurigai sebagai pemicu gerakan teroris di dunia dewasa ini— menuntut keadilan pemahaman kepada dunia, apakah dunia juga menganggap UU Pertahanan dan Keamanan negara-negara di dunia sebagai pemicu terorisme dunia. Kalau Dunia menerima kehadiran UU Hankam tersebut, maka logika yang waras mengharuskan kita untuk menerima dan membenarkan Syari‘at Jihad sebagai sebuah sistem pertahanan, keamanan, penangkalan, dan pemberdayaan ummat dalam menghadapi kekuatan destruktif dan agresif. Tetapi, anehnya akal waras tidak berlaku di tengah-tengah kehidupan dunia yang mengaku beradab dewasa ini.
Al Qur’an menegaskan latar belakang Jihad sebagai berikut:
1. Untuk menegakkan kebenaran dan keadilan ketika kebenaran dan keadilan dihancurkan oleh golongan dzhalim dan sesat. Keadilan dan kebenaran merupakan pilar-pilar penjamin ketenteraman dan keselamatan hidup ummat manusia. Bila hal ini terancam, maka Islam mengijinkan Jihad.
2. Menjamin kebebasan ummat manusia merasakan cahaya kebenaran dan hidayah Islam tanpa ada perasaan takut sedikit pun terhadap tekanan dan ancaman dari mana pun. Bila ada kekuatan-kekuatan yang menghalangi kebebasan semacam ini, maka Islam membenarkan dilakukannya Jihad dengan harta dan jiwa.
3. Membangun harga diri ummat Islam dalam berhadapan dengan musuh-musuhnya supaya tidak dihinakan dan dipermainkan. Guna mencegah kesewenangan musuh-musuh Islam terhadap kaum Muslimin, maka Jihad merupakan sarana paling ampuh untuk menggentarkan niat busuk musuh-musuh Islam (QS. Muhammad: 35).
4. Membebaskan golongan lemah dari penindasan penguasa tiran, supaya kaum tiran menghentikan tindakan tiraninya kepada golongan lemah. Maka, senjata yang paling ampuh untuk menundukkan kelompok tiran adalah dengan Jihad (QS. An Nisaa: 75)
5. Memelihara kewibawaan Islam di hadapan musuh-musuhnya agar ummat Islam tidak dirampas hak-haknya dan Islam dapat memelihara suasana perdamaian dan kesejahteraan dunia (QS. Al Anfaal: 60). Lima hal tersebut di atas merupakan realitas yang ada dalam kehidupan manusia sepanjang jaman. Sehingga, Islam harus memberikan respon dan solusi yang sejalan dengan tuntutan dinamika kehidupan manusia di mana saja dan kapan saja, yaitu suatu undang-undang pertahanan diri dari penyerangan musuh yang bersifat universal, rasional, dan realistis sejalan dengan tabiat dasar manusia.
Sebenarnya, agama Yahudi dan Kristen juga mempunyai doktrin perang sebagaimana termaktub pada Perjanjian Lama Kitab Ulangan: 20 ayat 10 (1) dan pada Perjanjian Baru Kitab Matius Pasal 10 ayat 24 (2). Kedua agama ini menjadikan perang sebagai alat untuk menguasai bangsa lain tanpa ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk melancarkan perang.
E. Pelaksanaan Jihad
Berbeda halnya dengan Islam, untuk melaksanakan Jihad harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Harus ada pengumuman dan pernyataan terbuka lebih dahulu kepada pihak yang hendak diperangi, dengan menerangkan alasan-alasannya yang sah (QS. Al Anfaal: 58).
2. Adanya pelanggaran perjanjian oleh pihak yang mengikat perjanjian dengan negara Islam, dan tidak mau mengindahkan peringatan-peringatan dari pihak Islam (QS. At Taubah: 4).
3. Adanya gelagat pengkhianatan dari pihak musuh Islam karena melihat tanda-tanda kelemahan dari pihak Islam (QS. At Taubah: 12).
4. Untuk membebaskan kaum Muslimin yang terancam kebebasannya di negeri-negeri bukan Islam di mana kaum Muslimin hidup dalam ketakutan dan kehilangan jaminan kehidupan beragamanya (QS. Al Baqarah: 190).
Syarat-syarat semacam ini tidak terdapat di dalam Taurat dan Injil untuk dapat dijadikan pedoman yang normatif dan permanen oleh pihak Yahudi dan Kristen. Justru kedua ayat di atas menjadi pemicu bagi ummat Yahudi dan Kristen untuk melakukan tindakan perang yang brutal dan di luar batas kemanusiaan terhadap siapa saja yang tidak disukainya dengan berbagai alasan-alasan dusta, seperti yang dilakukan Amerika terhadap Afghanistan dan Iraq.
F. Agama Kristen dan Perang
Para misionaris Injil berkata: “Tetapi jiwa Kristen itu secara mutlak menjauhkan diri dari peperangan”. Di sini Saya tidak bermaksud membahas benar tidaknya kata-kata itu. Akan tetapi, di hadapan kita sejarah Kristen adalah saksi yang jujur, juga di hadapan kita sejarah Islam adalah saksi yang jujur pula. Sejak masa permulaan agama Kristen hingga masa kita sekarang ini seluruh penjuru bumi telah berlumuran darah atas nama Al Masih. Bumi telah dinodai oleh Romawi, oleh bangsa-bangsa Eropa semuanya. Peperangan-peperangan Salib telah dikobarkan oleh orang-orang Kristen sendiri dan bukan oleh orang Islam. Mengalirnya pasukan-pasukan tentara sejak ratusan tahun lalu dari Eropa menuju daerah-daerah Islam di Timur adalah atas nama Salib: peperangan, pembunuhan serta pertumpahan darah. Dan setiap kali, para Paus sebagai pengganti Yesus, memberi berkah dan restu kepada pasukan-pasukan tentara itu, yang bergerak maju hendak menguasai Baitul Maqdis (Yerusalem) dan tempat-tempat lainnya yang dianggap suci bagi Kristen.
Adakah mungkin para Paus itu semuanya merupakan orang-orang yang telah menyimpang dari agamanya ataukah kekristenan mereka itu palsu? Ataukah karena mereka adalah juga para pembual yang bodoh, tidak mengetahui bahwa agama Kristen itu secara mutlak menjauhkan diri dari perang? Atau akan dikatakan: “Itu adalah peristiwa Abad Pertengahan, Abad Kegelapan; janganlah agama Kristen diprotes pula. Kalau itu yang kadang mereka katakan, maka pada abad kedua puluh ini, masa kita hidup sekarang ini pun, yang biasa disebut sebagai abad kemajuan dan humanisme –toh dunia juga sedang mengalami nasib seperti yang telah dialami pada Abad-abad Pertengahan yang gelap itu. Sebagai wakil Sekutu –Inggris, Perancis, Italia, Rumania, dan Amerika—Lord Allenby berkata di Yerusalem, pada penutup Perang Dunia I, ketika kota itu didudukinya pada tahun 1918: “Sekarang Perang Salib baru saja selesai.”
G. Orang-orang Suci dalam Islam dan Kristen
Apabila di kalangan orang-orang Kristen ada Orang-orang Suci yang dalam berbagai zaman menolak adanya perang dan dalam arti persaudaraan insani mereka telah mencapai puncaknya, bahkan harmonisasinya dengan unsur-unsur alam semesta, maka di kalangan kaum Muslimin juga ada manusia-manusia suci, yang jiwanya begitu luhur. Mereka mengadakan hubungan dalam arti persaudaraan, kasih-sayang, dan emanasi dengan alam. Sementara kini, dalam berbagai zaman manusia makin hebat saja dalam berlomba-lomba melakukan perang, membuat senjata-senjata jahat dan pemusnah. Kata-kata “mencegah perang”, “penghapusan persenjataan”, dan “menunjuk badan arbitrasi”, tidak lebih dari kata-kata yang biasa diucapkan setiap selesai perang, ketika bangsa-bangsa telah mengalami kehancuran. Ataukah ini hanya serangkaian propaganda yang dilontarkan di tengah-tengah kehidupan oleh orang-orang yang sampai sekarang belum ada yang mampu---- dan siapa tahu barangkali tidak akan pernah mampu—mewujudkan perdamaian yang sebenarnya, perdamaian berdasarkan rasa persaudaraan dan rasa keadilan, sebagai ganti perdamaian berdasar senjata — lambang perang yang akan mengantarkan kita kepada kehancuran.
H. Jihad dan Terorisme
Dengan memahami apa yang menjadi latar belakang Syari‘at Jihad, tujuan dan syarat-syaratnya sebagaimana dipaparkan di atas, maka dapatlah kita mengerti bahwa Jihad memiliki pengertian Umum dan Khusus, sebagaimana yang dijelaskan macam-macamnya oleh Imam Malik dalam kitab Al Mudawwanatul Kubra, juz V halaman 178 – 179.
Secara khusus, Jihad berarti memerangi musuh dengan pedang, yaitu memerangi kaum kafir dan musyrik yang memerangi Islam. Adapun Jihad dalam pengertian Umum, ada tiga macam:
1. Jihad melawan hawa nafsu, sebagaimana tersebut pada QS An Nazi ‘at: 40-41. Maksudnya jihad melawan godaan syetan, mengekang hawa nafsu dari melakukan hal-hal yang haram.
2. Jihad dengan lisan, yaitu melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, seperti membantah kebohongan kaum munafik, mendebat propaganda golongan kafir dalam memutarbalikkan kebenaran Islam, seperti tersebut pada QS. At Taubah: 73.
3. Jihad dengan tangan, yaitu tindakan penguasa mencegah perbuatan-perbuatan munkar, dosa besar, dan kebathilan dengan kekuasaannya, seperti memberantas perjudian, melarang pelacuran, memusnahkan minuman keras, dan menghukum para pemabuk, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim.
Dari uraian di atas, jelas bahwa pengertian Jihad adalah perjuangan untuk menegakkan agama Allah di muka bumi, baik dengan lisan, tangan maupun dengan pedang. Masing-masing bentuk Jihad tersebut diterapkan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisinya.
Adapun terorisme adalah bentuk tindakan destruktif agresif tanpa mengenal norma hukum, keselamatan ummat manusia, dan ketenteraman hidup bersama, bahkan sebaliknya sekadar untuk menimbulkan kemelut dan kekacauan. Terorisme merupakan bentuk anarkisme yang oleh Islam dikategorikan sebagai tindakan yufsiduuna fil ‘ardli. Tindakan semacam ini jelas dilarang di dalam Islam.
Maka, penggunaan terminologi terorisme terhadap perjuangan jihad kaum Muslimin adalah sebuah tindakan keji, tidak bermoral, dan menunjukkan mentalitas yang kacau. Orang semacam ini tidak bisa membedakan apa yang disebut membangun kebenaran dan keadilan dengan merusak kebenaran dan keadilan. Semua bentuk perang yang dilakukan oleh golongan non Muslim di dunia ini berkategori teror karena hanya menimbulkan fasadun fil ‘ardli baik dalam pandangan Islam maupun kepentingan peradaban.
Jihad tidak pernah menghancurkan ummat yang diserbunya atau ditaklukkannya, tetapi justru ummat tersebut dibangun peradabannya, moralnya, dan kesejahteraan dunianya. Dan, ini diakui oleh Comte Henry de Castri dari Perancis dalam bukunya Ta‘ats tsurat wa wabaa hits yang menyatakan bahwa sepanjang perjalanan sejarah, ummat Islam tidak meninggalkan kesan buruk kecuali yang tidak bisa dihindari seperti dalam peperangan dan semacamnya. Mereka tidak pernah membunuh suatu ummat hanya karena tidak mau masuk Islam.
Filed Under:
Tsaqofah Islam
Anda dapat turut serta menampilkan artikel anda dalam blog ini dengan mengirimkan email ke :
ats.tsaqofah@gmail.com
ats-tsaqofah@telkom.net
Sertakan pula identitas yang jelas. Terimakasih telah mengunjungi ats-tsaqofah.blogspot.com
0 comments
Trackback URL | Comments RSS Feed